Text
TESIS: KONSEP HAK IJBÃR WALI DALAM PERSPEKTIF GENDER DAN HAM (Studi Muqãranah Ijtihãd Imam Abu Hanifah dan Imam Syãfi’ĩ)
Berdasrkan pengertin judul di atas, maka paling tidak judul tesis ini menjelaskan
bagaiaman konsep Hak Ijbãr Wali menurut gender dengan melalui studi muqãranah ijtihãd
Imam Abu Hanifah Imam Syãfi’ĩ. Berdasarkan judul tersebut, maka penulis merumuskan
beberapa masalah, 1) Bagaimanakah Ijtihãd imam abu hanifah dan imam syãfi’i tentang hak
ijbãr wali. 2) Bagaimanakah perspektif gender dan HAM tentang konsep hak ijbãr wali.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan
multidisipliner, yaitu pendekatan yuridis, pendekatan sosiologis, pendekatan teologi
normatif. Penelitian ini tergolong library research yang dimana data dikumpulkan dengan
mengutik, menyadur, dan menganalisis dengan menggunakan analisis isi terhadap literatur
representatif dan yang mempunyai relevansi dengan masalah yang dibahas, kemudian
mengulas dan menyimpulkannya.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa ma hab Syafi‟iyah menganggap
adanya hak ijbãr dalam perkawinan, yang dimana seorang wali dapat menikahkan
anak gadisnya tanpa persetujuan terlebih dahulu. Hal ini juga merupakan salah satu
cara untuk menjaga anak gadisnya yang dianggap tidak cakap dan belum mengerti
sama sekali tentang perkawinan dan kesalahan dalam memilih pasangan (Dar‟u al-
Mafāsid). Sedangkan Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa kosep wali mujbir
tidak berlaku kecuali hanya pada anak gadis yang belum balig. Karena menurut
Hanafi gadis dan janda adalah sama, yakni sama-sama cukup mampu berpikir dan
memilih jalan hidup yang akan dipilih. Hanafi juga menjelaskan bahwa hendaknya
perkwinan didasarkan atas kerelaaan dan tidak menimbulkan keterpakasaan. Hal ini
karena Hanafi menganalogikan akad perkawinan dengan akad jual jual beli. Dalam
pendekatan konsep gender dan HAM, hak ijbãr tidaklah sesuai dengan asas
kesetaraan yang dimana hanya laki -laki yang bisa menentukan jodohnya atas wanita
yang akan dinikahinya, sedangkan wanita tidak demikian. Oleh karena itu, hak ijbãr
dalam perspektif gender dan HAM haruslah dimusyawarahkan terlebih dahulu
kepada perempuan karena sudah tidak sesuai dengan asas kesetaraan dan Hak Asasi
Manusia. Selain dari pada itu, ketika ajaran agama (fikih) tidak sesuai dengan tujuan
ajaran Islam maka perlu di reinterpretasi agar sejalan dengan cita-cita ideal Islam.
Penelitian ini paling tidak memberikan beberapa implikasi, pertama, bagi
masyarakat atau lebih khusus kepada wali mujbir bahwa pernikahan yang tidak
didasari oleh persetujuan dan kerelaan dari seorang wanita maka itu tidak dibenarkan
lagi karena tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Kedua, dalam memahami mazhab
syãfi‟i yang berkaitan dengan hak ijbãr, barangkali perlu di tafsir ulang karena sudah
tidak relevan lagi dengan masa sekarang, ketika ada ajaran fikih yang berbentuk
patriarki maka ajaran itu tidak boleh dibenarkan lagi apalagi kalau tidak sesuai
dengan maqãshid as-syari‟ah. Meskipun demikian apa yang dipahami oleh peminis tidak
bisa diterapkan saat ini karena tidak sesuai dengan konsep keindonesian
Tidak tersedia versi lain