Text
TESIS: GOLONGAN YANG TIDAK MATI DALAM AL-QUR’AN (Sebuah Analisis Tafsir Maqa>s{idi>)
Kematian sebagai satu konstituen dalam al-Qur’an mengalami stagnasi
interpretasi ketika tema tersebut berbarengan dengan tajuk esktologis dan eksentrik.
Tema tersebut baru bisa dibincangkan kembali dalam diskursus akademis jika para
sarjana mulai mencari tujuan di balik suatu ayat dengan membaca konteks dan relasirelasi
historis yang melingkarinya. Ayat-ayat yang berbicara perihal prohibisi untuk
mengatakan syuhada sebagai orang yang mati adalah salah satu contohnya. Para
mufasir cenderung memaknai ayat tersebut sebagaimana eksplisitas teks. Beberapa
yang lainnya memberi aksentuasi sosiologis, dan pada kecenderungan tafsir riwayat
akan dijumpai hadis-hadis tentang syuhada di mulut burung.
Interpretasi semacam ini meskipun mesti diapresiasi juga patut dikritisi.
Selain karena stagnasi disebabkan repitisi tafsir, juga jauh dari realitas kehidupan dan
kemaslahatan. Demikianlah penggunaan teori tafsir maqa>s{idi> digunakan untuk
membaca maksud terdalam dari pesan-pesan yang dikehendaki oleh ayat-ayat
tersebut, yakni; QS. Al-Baqarah/2: 154 dan QS. An/3: 169. Olehnya itu untuk
kebutuhan sistematis maka diajukanlah pertanyaan-pertanyan filosofis sebagai
berikut; 1) Bagaimana interpretasi mufasir tentang golongan yang tidak mati dalam
al-Qur’an? 2) Bagaimana tafsir maqa>s{idi> ayat-ayat golongan yang tidak mati
dalam al-Qur’an? 3) Bagaimana implementasi tafsir maqa>s{idi> ayat-ayat golongan
yang tidak mati dalam al-Qur’an?
Dari pembacaan terhadap ayat-ayat golongan yang tidak mati dalam al-
Qur’an>, ditariklah beberapa kesimpulan bahwa eksplisitas ayat-ayat tentang golongan
yang tidak mati dalam al-Qur’an ini membawa mufasir untuk menafsirkannya sebagai
mana adanya teks. Sama sekali tidak ada silang pendapat antara mufasir tentang
interpretasi syuhada hidup di sisi Tuhan dan berada di alam lain. Sementara beberapa
yang lainnya merelasikan ayat ini dengan pesan sabar menghadapi musibah. Beberapa
yang lainnya juga mencoba menggunakan pendekatan sufistik dengan mengemukakan
bentuk dan perjalanan roh. Tapi sebagaimana yang disebutkan di atas, tidak ada
perbedaan sama sekali tentang ayat-ayat tersebut kecuali pada spesifikasi kondisi dan
tempat ayat tersebut turun.
Dengan menggunakan penalaran tafsir maqa>s{idi>, baik sebagai konstituen dari
maqa>s{id syariah maupun maqa>s{id al-Qur’a>n, maka ditemukanlah tiga makna inti.
Keduanya adalah perihal proteksi diri/h{ifz al-di>n, h{ifz{ al-nafs, dan kenikmatan sebagai
hasil dari kematian. Kausa di balik penarikan tersebut berangkat dari situasi historis,
yakni masa gencatan sejarah ketika ayat turun-untuk sekadar menyelami lebih dalam motivasi dari gencatan senjata tersebut dilakukan oleh Nabi bukan sekadar untuk
menyelamatkan diri dari represi kaum kafir, juga bertujuan melanggengkan eksistensi
sebuah agama yang secara legal disebut Islam. Sementara dengan mengikuti pola Al-
Syatibi> dengan merujuk kepada nilai-nilai universal yang disampaikan dalam ayatayat
Makkiyah, maka ditemukan bahwa perang untuk menjaga agama tersebut juga
merupakan perang untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran.
Perihal ketiga adalah kematian sebagai kenikmatan. Dalam hal ini kematian
diartikan sebagai kehidupan, sementara untuk membedakan kehidupan yang berlaku
umum itu, yang tentu saja menyentuh golongan kafir dan munafik, maka lanjutan
kehidupan tersebut disertai dengan keridaan, kerahmatan, dan keberkahan yang
diberikan Tuhan khusus kepada syuhada sebagaimana disebutkan pada relasi ayatayat
lainnya.
Terakhir, implementasi proteksi agama dapat dilakukan pertama kali dengan
meneguhkan ketauhidan dan peribadatan, beragama dengan ilmu, kewajiban dakwah,
dan menghormati kebebasan berekspresi dalam setiap agama. Sementara pada h{ifz{ alnafs
direalisasikan dengan penghargaan yang tinggi kepada setiap nyawa, baik diri
sendiri maupun orang lain.
Tidak tersedia versi lain